ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INKONTINENSIA URINE
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INKONTINENSIA URINE
Definisi
Inkontinensia urine adalah pelepasan
urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap merupakan
masalah bagi seseorang.
Klasifikasi
Inkontinensia urine di
klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all )
Inkontinensia
Urgensi
Adalah pelepasan urine yang tidak
terkontrol sebentar setelah ada peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan
oleh aktivitas otot destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang
tidak terkontrol.
Inkontinensia
Tekanan
Adalah pelepasan urine yang tidak
terkontrol selama aktivitas yang meningkatkan tekanan dalam lubang intra
abdominal. Batuk, bersin, tertawa dan mengangkat beban berat adalah aktivitas
yang dapat menyebabkan inkontinensia urine.
Inkontinensia
Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )
Terjadi jika retensi menyebabkan
kandung kemih terlalu penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal
ini pada umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau obstruksi bagian luar
kandung kemih.
Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya
disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti infeksi saluran kemih,
kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.
Manifestasi klinik
Urgensi
Retensi
Kebocoran urine
Frekuensi
Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan
oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol
spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah
dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine
dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
Pemeriksaan Diagnosa
Pengkajian
fungsi otot destrusor
Radiologi
dan pemeriksaan fisik ( mengetahui tingkat keparahan / kelainan dasar panggul )
Cystometrogram
dan elektromyogram
Therapi
Urgensi
Cream
estrogen vaginal, anticolenergik, imipramine (tofranile)
Diberikan
pada malam hari
Klien
dianjurkan untuk sering buang air kecil
Over flow
inkontinensia
Farmakologis prazocine (miniprise)
dan cloridabetanecol (urecholine)
Diberikan untuk menurunkan
resistensi bagian luar dan meningkatkan kontraksi kandung kemih.
Askep inkontinensia urine
Pengkajian
Dalam pengkajian ditanyakan kapan
inkontinensia urine mulai muncul dan hal-hal yang berhubungan dengan gejala inkontinensia
:
Berapa
kali inkontinensia terjadi ?
Apakah
ada kemerahan, lecet, bengkak pada daerah perineal ?
Apakah
klien mengalami obesitas ?
Apakah
urine menetes diantara waktu BAK, jika ada berapa banyak ?
Apakah
inkontinensia terjadi pada saat-saat yang bisa diperkirakan seperti pada saat
batuk, bersin tertawa dan mengangkat benda-benda berat ?
Apakah
klien menyadari atau merasakan keinginan akan BAK sebelum inkontinensia terjadi
?
Berapa
lama klien mempunyai kesulitan dalam BAK / inkontinensia
urine ?
Apakah
klien merasakan kandung kemih terasa penuh ?
Apakah
klien mengalami nyeri saat berkemih ?
Apakah
masalah ini bertambah parah ?
Bagaimana
cara klien mengatasi inkontinensia ?
Pemerikasaan
fisik
Inspeksi
Adanya kemerahan, iritasi / lecet
dan bengkak pada daerah perineal.
Adanya benjolan atau tumor spinal
cord
Adanya obesitas atau kurang gerak
Palpasi
Adanya distensi kandung kemih atau
nyeri tekan
Teraba benjolan tumor daerah spinal
cord
Perkusi
Terdengar suara redup pada daerah
kandung kemih.
Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
Gangguan
bodi image
Defisit
pengetahuan
Kelemahan
( kurang aktivitas )
Gangguan
Harga Diri
Gangguan
Integritas Kulit
J. Rencana Tindakan
Menjaga
kebersihan kulit, kulit tetap dalam keadaan kering, ganti sprei atau pakaian
bila basah.
Anjurkan
klien untuk latihan bladder training
Anjurkan
pemasukkan cairan 2-2,5 liter / hari jika tidak ada kontra indikasi.
Anjurkan
klien untuk latihan perineal atau kegel’s exercise untuk membantu menguatkan
kontrol muskuler ( jika di indikasikan )
Latihan ini dapat dengan berbaring,
duduk atau berdiri
Kontraksikan
otot perineal untuk menghentikan pengeluaran urine
Kontraksi
dipertahankan selama 5-10 detik dan kemudian mengendorkan atau lepaskan
Ualngi
sampai 10 kali, 3-4 x / hari
Cek
obat-obat yang diminum ( narkotik, sedative, diuretik, antihistamin dan anti
hipertensi ), mungkin berkaitan dengan inkontinensia.
Cek
psikologis klien.
SUMBER PUSTAKA
Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Susan Martin Tucker at all. Patient Care Standarts
Collaborative Planning & Nursing Interventions, Seventh Edition, St.
Louis Baltimore Berlin : Mosby, 2000.
Luckmann’s, Suzanne E, Tatro. Care Principles and
practise of Medical Surgical Nursing.
Christensen Kocknow. Adult Health Nursing, Third
edition, St. Louis Baltimore, Boston : Mosby, 1999.
Susan Puderbangh, Susan W. Nursing Care Planning Guides,
for Adult In Acute, Extended and Home Care Settings. WB. Saunders Company,
2001.
Inkontinensia
urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin merupakan
salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya
25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin diklasifikasikan :
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin diklasifikasikan :
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien
delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat
mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia
urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis
lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
Kategori klinis meliputi :
a.
Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak
terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti
pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya
otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia
di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada
laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan
transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa,
batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya
urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan
dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson,
demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk
sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin
stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi
tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak
terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran
prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang
menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan
faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa
adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional
d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan
identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat
faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,
masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan
untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
Evaluasi Inkontinensia Urin
Tujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebab-penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.
a. Lama dan karakteristik inkontinensia urin
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
Evaluasi Inkontinensia Urin
Tujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebab-penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.
a. Lama dan karakteristik inkontinensia urin
- Waktu dan jumlah urin pada saat
mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)
- Asupan cairan, jenis (kopi,
cola, teh) dan jumlahnya.
- Gejala lain seperti nokturia,
disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
- Kejadian yang menyertai seperti
batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
- Perubahan fungsi usus besar
atau kandung kemih.
- Penggunaan Pad atau Modalitas
lainnya.
b. Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya
Riwayat
medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung,
insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson.
Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan
pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang
dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat
dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik,
antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan
dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin
atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
- Pemeriksaan abdomen harus
mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat
pembedahan.
- Kondisi kulit dan abnormalitas
anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.
- Pemeriksaan rectum terutama
dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi
tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul
prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
- Pemeriksaan pelvis mengevaluasi
adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis,
dan adanya sistokel atau rektokel.
- Evaluasi neurologis sebagian
diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum,
tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu
mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula
spinalis dan penyakit parkinson.
Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.
Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut
Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur
sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah
buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan
terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila
evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
- Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
- Tes urodinamik --> untuk
mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
- Tes tekanan urethra -->
mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
- Imaging --> tes terhadap
saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2. Pemeriksaan penunjang
Uji
urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.
Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi
urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada
desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih,
ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.
3. Laboratorium
3. Laboratorium
Elektrolit,
ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi
ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
4. Catatan berkemih (voiding record)
4. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan
berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak
inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan
pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat
digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai
intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu
terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang
dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan
dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan
distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan
untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
setiap 2-3 jam.
- Membiasakan berkemih pada
waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
- Promted voiding dilakukan
dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
- Melakukan latihan otot dasar
panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
·
Berdiri
di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan
berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
·
Gerakan
seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat
dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi farmakologi
- Obat-obat yang dapat diberikan
pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin,
Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
- Pada inkontinensia stress
diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan
retensi urethra.
- Pada sfingter relax diberikan
kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara
singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi
ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).
5.Modalitas lain
5.Modalitas lain
Sambil
melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
ASKEP INKONTINENSIA URINE
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN INKONTINENSIA URINE
Di Susun Oleh :1. D
2. Y
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN INKONTINENSIA URINE
Inkontinensia urine merupakan pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak, Sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang.
Bentuk-bentuk inkontinensia urine :
1. Inkontinensia urine fungsional :
Keadaan ketika individu mengalami inkontinensia karena kesulitan dalam mencapai atau ketidakmampuan untuk mencapai toilet sebelum berkemih.
Batasan karakteristik :
• Data mayor(harus terdapat)
Inkontinensia sebelum atau selama usaha mencapai toilet.
2. Inkontinensia urine reflex :
Keadaan ketika individu mengalami pengeluaran urine involunter yang dapat diprediksi tanpa sensasi dorongan, berkemih, atau kandung kemih penuh.
Batasan karakteristik :
• Data mayor(harus terdapat, satu atau lebih)
Kontraksi kandung kemih tidak terlambat
Reflek involunter menghasilkan kandung kemih spontan
Kehilangan sensasi penuh kandung kemih atau desakan berkemih sebagian atau komplet.
3. Inkontinensia urine stress :
Keadaan ketika individu mengalami pengeluaran urine involunter segera pada peningkatan tekanan intraabdominal.
Batasan karakteristik :
• Data mayor(harus terdapat)
Individu melaporkan penurunan urine(biasanya kurang dari 50 cc) yang terjadi karena peningkatan tekanan abdominal akibat berdiri, bersin, batuk, berlari, atau mengangkat beban berat.
4. Inkontinensia urine total :
Keadaan ketika individu mengalami urine terus menerus yang tidak dapat di perkirakan, tanpa distensi atau tidak menyadari kandung kemih penuh.
Batasan karakteristik :
• Data mayor(harus terdapat)
Aliran konstan dari urine tanpa distensi
Nokturia lebih dari 2 kali selama tidur
Refraktori inkontinensia pada tindakan lain
• Data minor(mungkin terdapat)
Tidak menyadari isyarat kadung kemihuntuk berkemih
Tidak menyadari inkontinensia
5. Inkontinensia urine dorongan :
Keadaan ketika individu mengalami pengeluaran urine involunter yang dihubungkan dengan keinginan kuat dan tiba-tiba untuk berkemih.
Batasan karakteristik :
• Data mayor(harus terdapat)
Dorongan diikuti inkontinensia.
I. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
b. Riwayat kesehatan
Ø Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
Ø Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
Ø Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia
Pemeriksaan Sistem :
a. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d. B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
d. Data penunjang
a. Urinalisis
o Hematuria.
o Poliuria
o Bakteriuria.
b. Pemeriksaan Radiografi
o IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
o VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
c. Kultur Urine
o Steril.
o Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
o Organisme.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya.
2. Inkontinensia Urine : Refleks yang berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
3. Inkontinensia Urine : Dorongan yang berhubungan dengan gangguan implus eferen inhibitor sekunder akibat disfungsi otak atau medulla spinalis
4. Resiko disrefleksia yang berhubungan dengan stimulasi reflex dari system saraf simpatis sekunder akibat kehilangan control autonomic
5. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
6. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
7. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
8. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.
III. INTERVENSI
1. Diagnosa I
Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
Tujuan :
• Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia
• Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
Intervensi :
o Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari,
o Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.
o Obserpasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih.
o Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
o Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
o Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan
o Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.
2. Diagnosa 2
Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan :
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
e. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
§ Tingkatkan masukan sari buah berri.
§ Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.
3. Diagnosa 3
Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
Tujuan :
§ Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
§ Kulit periostomal tetap utuh.
§ Suhu 37° C.
§ Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.
4. Diagnosa 4
Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Intervensi :
a. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada saat pertama.
R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak sembuh, infeksi)
b. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang.
R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu / membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya secara efektif.
c. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.
d. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata menunjukkan peristaltic normal.
e. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri.
R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
f. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pada pemberi asuhan.
g. Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.
R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri.
h. Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara pemuasan seksual.
R: Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.
5. Diagnosa 5
Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas
Tujuan :
§ Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan macam terapeutik.
§ Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup.
§ Ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
a. Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan dan harapannya. Perbaiki konsep yang salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan nyaman dan mendukung diberikan.
b. Berikan informasi tentang:
§ Sifat penyakit.
§ Deskripsi singkat tentang tidur.
§ Pemeriksaan setelah perawatan.
Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan intruksi dan penjelasan singkat dan sederhana. Berikan informasi lebih detail bila nyeri terkontrol. R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi ansietas, nyeri mempengaruhi prose belajar.
WOC
DAFTAR PUSTAKA
• Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000
• Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta, EGC. 2006
• http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html
• http:/www.majalah-farmacia.com/rubric/one_finenews.asp?IDNews=40