Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA


A. PENGERTIAN


Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.


Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).


B. ETIOLOGI


Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tnpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.






C. KLASIFIKASI


Terdapat tiga jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru, yaitu :


1. Emfisema sentrilobular (CLE) atau sentrocinar


Secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius. Dinding mulai berlubang, membesar, bergabung, dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding mengalami integrasi. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tetapi akhirnya cenderung tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.


2. Emfisema panlobular (PLE) atau panlocinar


Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bonkiolusterminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. Jika Penyakit makin parah, maka semua koponen asinus sedikit demi sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal beberapa lembar jaringan saja yang biasanya berupa pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata di seluruh paru-paru meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah, mempunyai dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktifitas dan penurunan berat badan.


3. Emfisema paraceptal


Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.


Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner dan sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan)














D. MANIFESTASI KLINIK


1. Dispnea


2. Pada inspeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot, dan pernafasan dengan bibir dirapatkan


3. Ditemukan hiperesonansi dan penurunan fremitus ditemukan pada seluruh bidang paru


4. Pada auskultasi, menunjukkan tidak terdengarnya bunyi nafas dengan krekles, ronki, dan perpanjangan ekspirasi


5. Pada tahap lanjut akan terjadi hipoksemia (kadar O2 rendah) dan hiperkapnia (kadar CO2 tinggi)


6. Anoreksia


7. Penurunan berat badan


8. Kemungkinan terjadi distensi vena leher selama ekspirasi






E. PATOGENESIS













F. PENATALAKSANAAN


Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.


1. Bronkodilator


Digunakan untuk mendilatasi jaln nafas karena preparat ini melawan baik edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis terukur, atau IPPB.


2. Terapi aerosol


Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme, menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.


3. Pengobatan Infeksi


Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.


4. Kortikosteroid


Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.


5. Oksigenasi


Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.






G. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan pertukaran gas b.d. gangguan suplai oksigen, obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara


2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. peningkatan produksi sekret, bronkokontriksi


3. Pola nafas tidak efektif b.d. nafas pendek, adanya sekret, bronkokontriksi, iritan jalan nafas


4. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia, mual/muntah


5. Resiko tinggi infeksi b.d. penurunan kerja silia, menetapnya sekret


6. Intoleransi aktifitas b.d. keletihan, hipoksemia, dan pola nafas tidak efektif






























H. INTERVENSI KEPERAWATAN








Diagnosa Keperawatan


Tujuan


Intervensi


Rasional



Gangguan pertukaran gas b.d. gangguan suplai oksigen, obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien dapat memperlihatkan hasil dengan kriteria :


· Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan


· Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan / situasi






1. Kaji frekuensi, dan kedalaman pernafasan










2. Tinggikan kepala dan beri posisi yang nyaman pada klien










3. Kaji dan observasi kulit dan warna membran mukosa secara berkala














4. Lakukan postural draignase; suction bila diindikasikan










5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan


















6. Batasi aktifitas klien atau dorong untuk tidur / istirahat selama fase akut


7. Observasi TTV


















8. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian penekan susunan saraf pusat seperti antiansietas, sedatif, atau narkotik dengan hati-hati


9. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi


§ Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan dan / atau kronisnya proses penyakit


§ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea


§ Sianosis perifer (pada kuku) atau sentral (pada bibir, daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia


§ Kental, tebal, dan banyaknya sekret adalah sumber utama gangguan pertukaran gas. Penghisapan dilakukan bila batuk tidak efektif


§ Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan adanya spasme bronkus. Krekels basah menunjukkan cairan pada intestitial / dekompensasi jantung


§ Selama distres pernafasan pasien secara total tak mampu melakukan aktifitas karena hipoksemia dan dispnea


§ Takikardi, disritmi, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung


§ Digunakan untuk mengontrol ansietas / gelisah yang meningkatkan konsumsi oksigen, eksaserbasi dispnea. Dipantau ketat karena dapat terjadi gagal nafas






§ Dapat memperbaiki / mencegah memburuknya hipoksia



Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. peningkatan produksi sekret, bronkokontriksi


§



DAFTAR PUSTAKA






Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 1. Jakarta: EGC


Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC


Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC


Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4 buku II. Jakarta: EGC






























































2. Patogenesis


Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien enfisema yaitu :


a. Hilangnya elastisitas paru-paru


Protease (enzim paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya, kantung alveolus kehilangan elastisitasnya dan jalan napas kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli menjadi rusak dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.


b. Hiperinflasi paru-paru


Pembesaran alveoli sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali keposisi istirahat normal selama ekspirasi.


c. Terbenuknya bullae


Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara diantara parenkim paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.


d. Kolapsnya jalan napas kecil dan udara terperangkap


Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratoraks akan menyebabkan kolapsnya jalan napas.


4. Patofisiologi


Emfisema merupakan kelainan dimana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, jlan napas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus (disebut blebs) dan diantara parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilator pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.


Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.